Thursday, May 6, 2010

BAHAYA UREA UNTUK TERNAK

Oleh : Dinoto
Pegawai di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu

Tahun 1980-an, ketika pemerintah mengimpor sapi perah secara besar-besaran, negeri
subur makmur gemah ripah loh jinawi ini pun merasa kekurangan rumput berkualitas. Alternatif
termudah yang ditempuh saat itu adalah “meningkatkan” kualitas jerami padi yang secara
kuantitas ketersediaannya tidak pernah kekurangan, dengan teknologi yang dikenal sebagai
urease ataupun amoniase.
Penulis lebih memilih istilah urease karena di Indonesia, untuk melakukan amoniase pun
cara mendapatkan amoniak yang paling mudah adalah dengan memperlakukan panas dan
tekanan tertentu terhadap larutan urea sebagaimana ditemukan nutrisionis Jerman Bergner
(1974) ataupun yang dilakukan Van der Merme (1976) di Afrika Selatan.
Urease yang diperkenalkan merupakan proses pengolahan jerami padi menjadi hijauan
berkualitas untuk pakan sapi perah dengan menggunakan urea (yang oleh kebanyakan
masyarakat Indonesia hanya digunakan untuk tanaman). Urea dicampur air dengan
perbandingan tertentu, disiramkan ke jerami yang sudah disusun kemudian ditutup plastik kedap
udara selama waktu tertentu (metode Dolberg, 1981). Alternatif lain adalah dengan memberi
panas dan tekanan tertentu sehingga larutan urea menguapkan gas amoniak, uapnya yang
berbau sengak diserap oleh tumpukan jerami padi di sekelilngnya. Proses ini dilakukan dalam
kontainer kedap udara (metode yang dilakukan Bergner dan Van der Merme serta diperbaiki
pada tahun 1981 oleh Coredesse).
Peternak sapi perah pun dibekali ilmu “ghaib” untuk menyulap jerami padi yang semula
hanya hangus dibakar di pesawahan menjadi pengganti rumput hijau yang semakin sulit
diperoleh. Tidak lupa kontainer pun dikirimkan kepada koperasi peternak sapi perah. Dengan
berbagai upaya tersebut, kiranya pemerintah makin optimis bahwa dalam beberapa tahun
setelah itu imbangan antara susu impor dan produk dalam negeri mencapai 50 : 50.
Para peternak sapi perah sangat antusias mempraktekan ilmu barunya. Pakan hijauan
tidak akan ada masalah lagi ketersediaannya sepanjang musim. Namun, ketika hijauan
berkualitas hasil urease ini diberikan kepada sapi yang sedang laktasi maka produksi susunya
tiba-tiba berkurang. Makin hari makin sedikit sampai beberapa dinataranya harus berhenti
sebelum masa kering tiba.
Jerami padi berkualitas tinggi juga dengan bangga mereka diberikan kepada sapi jantan
yang sedang digemukan (fattening). Sapi-sapi jantan FH yang sedang dalam proses akhir
pemeliharaan penggemukan pun beberapa diantaranya menemui ajal setelah beberapa hari
urinenya kuning kemerahan sampai benar-benar keluar darah segar.

H. Abdoeri (almarhum) yang waktu itu menjabat sebagai ketua GKSI Cirebon pun
segera menghentikan penerapan teknologi baru tersebut. Urease ternyata tidak seindah hasil
penelitian Dr. Ir. Abdel Komar di Perancis. Bagusnya kesimpulan hasil riset di laboratorium
ternyata berakibat fatal setelah diterapkan begitu saja di lapangan.
Atep, seorang peternak sapi perah di Desa Sukasari Kecamatan Pangalengan pun
mengalami nasib serupa. Pada awal tahun 1990-an, anggota KPBS tersebut hanya bisa
mengurut dada ketika beberapa ekor sapi laktasi andalannnya tiba-tiba produksi susunya turun
drastis. Salah satunya bahkan sakit-sakitan dan terpaksa ditolong Pak Jagal. Saat itu, sapi
perahnya mendapatkan awetan hijauan berprotein tinggi, silase jagung yang dibuat dengan
tambahan larutan urea.
Kejadian belum lama pun terjadi di peternakan domba milik pesantren, Peternakan
Domba Al-Mustaghfirun Desa Jatimulya Kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu. Lebih dari 35
% domba yang dipeliharanya terkapar secara bertahap setelah penggunaan UMB selama 2 – 6
bulan, 75 ekor harus menemui ajal dari total populasi 200 ekor. Ahmad Syifa, teknisi yang
menangani peternakan tersebut mengatakan bahwa gejala yang muncul diare akut, bahkan
disertai dengan perdarahan. Kalau sudah demikian, maka paling lambat 4 hari kemudian harus
dikebumikan di liang lahat masal.
Jauh-jauh sebelum praktek-praktek mematikan itu berlangsung menelan banyak korban,
para mahasiswa Fakultas Peternakan IPB selalu mendapat perhatian agar terjebak dalam
masalah karena tertipu oleh nutrisi semu. Hasil penelitian laboratorium, selalu dan akan selalu
menghasilkan adanya perbaikan nitrisi terhadap bahan makanan ternak yang diberi larutan urea.
Protein, nutrisi terpenting dan relatif mahal ini menjadi begitu murah dan mudah didapat
dengan pemberian urea. Bahan pakan pun secara laboratorium menunjukkan berbagai
perbaikan. Serat kasar yang sulit dicerna rumen pun menjadi lebih bisa bermanfaat setelah
melalui proses urease.
Hasil penelitian pengolahan jerami padi IR 38 dengan pemberian urea 4 % bukan hanya
meningkatkan protein kasar secara drastis tetapi juga meningkatkan daya cernanya 50 % lebih
baik, serat kasar bahkan menunjukan perbaikan daya cernanya lebih dari itu. Perbaikan juga
terjadi pada daya cerna bahan kering dan bahan organik. (Komar, A, 1984 : 51).
Sekali lagi, mahasiswa mendapatkan amanat yang harus dipegang teguh bahwa
sekalipun hasil kerja di laboratorium menunjukkan berbagai keindahan tetapi harus hati-hati
dalam penerapannya di lapangan. Penggunaan protein semu tersebut telah menunjukkan
berbagai bahaya. Misalnya, sapi laktasi tiba-tiba turun drastis produksinya, menyebabkan
kemandulan, dan lain-lainnya. Masalah sosial-budaya peternak yang tidak setinggi manusia
laboratorium memperparah keadaan, angka kematian tidak dapat dihindarkan.

Sejalan dengan bekal dari Kampus Rakyat, seorang nutrisionit dari Kansas University,
Profesor Keith Bolsen, pada awal tahun 1990-an mengatakan bahwa, “Penggunaan urea untuk
ternak, dengan metode dan cara apapun, lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya.”
Bila ditarik garis merah ke masa lalu, Penulis menemukan sebuah buku kecil yang
sangat berharga tentang penggunaan urea pada peternakan di Amerika Serikat. Tidak
tanggung-tanggung, terbitan 1918, sama dengan terjadinya Perang Dunia Pertama. Ternyata,
sejak awal abad ke-20 atau bahkan abad sebelumnya, urea sudah lazim digunakan disana
sebagai bagian penting dalam proses pengawetan hijauan, khususnya silase.
Buku kuno itu menjelaskan tentang berbagai aplikasi pengunaan urea dalam berbagai
kadar terhadap berat badan sapi potong penggemukan. Juga terdapat berbagai informasi lain
yang masih mengagungkan penghematan biaya produksi yang diperoleh dengan pemberian hasil
urease ini.
Dikaitkan dengan pendapat Profesor Keith Bolsen di atas, maka diantara awal abad dan
menjelang akhir abad ke-20 ini tentu ada perkembangan hasil penelitian dan penerepan
penggunaan urea dalam pakan ternak di Negeri Paman Sam. Dapat dipastikan bahwa
perkembangannya negatif, oleh karena itu di sana tidak lagi disarankan.
Ironisnya, banyak ahli nutrisi Indonesia, yang menggembar-gemborkan kehebatan urea
sebagai sumber nutrisi dan bahkan bisa memperbaiki nutrisi pakan ternak. Para ahli lulusan
dalam dan luar negeri itu tetap pada pendiriannya sekalipun di hadapan matanya banyak korban
bergelimpangan. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa ternak yang meregang nyawa tesebut
adalah efek negatif dari formula yang di benaknya akan melejitkan pertumbuhan dan produksi
ternak yang mengkonsumsinya. Kejadian ini bukan hanya terjadi pada ternak milik masyarakat
awan tetapi juga terjadi di berbagai balai penelitian yang semestinya menjadi tempat berguru
masyarakat dan praktisi serta ahli.

Bahan Bacaan :
Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami Sebagai Makanan Ternak. Yayasan Dian
Grahita Indonesia. Bandung

No comments: